Oleh :
Wahyu 'wepe' Pramudya
02 Jan 2015 | 12:00
Sumber: Risma kunjungi posko informasi hilangnya pesawat Air Asia di Bandara Juanda. (Achmad Faizal/KOMPAS.com)
Rabu, 31 Desember 2014, saya bergegas menuju Bandara Internasional Juanda untuk menemui keluarga-keluarga korban AirAsia QZ 8501. Saya mengenal sebagian korban dan keluarga. Kurang lebih pukul 9.30 saya sudah berdiri di depan crisis center dan mengarahkan pandangan untuk mencari wajah-wajah yang saya kenal. Ah, saya melihat beberapa wajah yang saya kenal. Saya pun menyapa, berbicara dan berdoa bersama keluarga korban.
Di tengah kesibukan mengenali dan berbicara dengan keluarga korban, saya memperhatikan hiruk pikuk pekerja media, baik dari dalam maupun luar negeri. Tiba-tiba, mereka bergerak menuju ke arah saya. Ternyata di belakang saya ada sosok yang terkenal di Surabaya. Namanya Tri Rismaharini atau lebih dikenal dengan sebutannya Bu Risma, Wali Kota Surabaya yang tersohor itu. Segera saya arahkan kamera kepada beliau yang tengah menjelaskan penanganan warga Surabaya yang menjadi korban AirAsia. Perhatian saya tertuju pada sepatu yang Bu Risma kenakan. Sila Anda melihatnya sendiri!
Nah, Anda sudah memperhatikan sepatu Bu Risma bukan? Apakah menurut Anda sepatu itu sesuai dengan busana yang dikenakan beliau? Apalagi beliau adalah seorang wali kota. Namun, ya begitulah Bu Risma. Bagi beliau yang terpenting adalah sepatu itu menunjang mobilitasnya untuk melayani korban. Dari pagi hari hingga sore hari, saya menjadi saksi mata betapa Bu Risma terus berjalan ke luar masuk ruangan crisis center, memberikan keterangan pada media dan menemui banyak pihak. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang pertama; pemimpin lebih mengedepankan peran daripada penampilan. Apa gunanya punya pejabat alias pemimpin publik yang terlalu memperhatikan penampilan sehingga mengorbankan mobilitasnya untuk melayani?
Sebagai seorang yang seringkali harus berdiri dan memimpin ibadah kedukaan, saya mengerti betapa sulitnya memilih kata-kata yang pas bagi keluarga yang berduka. Tentu saja mudah hanya untuk berbicara kata-kata penghiburan yang bersifat umum, namun yang seperti ini tentu saja tak akan menyentuh hati. Pergumulannya adalah bagaimana menempatkan diri dalam posisi keluarga korban, sekaligus sebagai rekan yang memberi kekuatan. Ini tidak mudah.
Saya mencoba mengingat apa yang disampaikan Bu Risma kepada keluarga korban di Crisis Center. Dengan logat khas Surabaya, kurang lebih beliau berkata, ”Hari ini giliran keluarga bapak dan ibu. Besok bisa jadi giliran saya. Kita tidak pernah tahu. Hidup ini milik Allah.” Ah, saya tertegun mendengar perkataan ini. Bu Risma menguatkan keluarga korban dengan kalimat-kalimat yang langsung nyambung di hati. Menaruh empati, sekaligus menguatkan hati. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang kedua; pemimpin itu lebih mengedepankan komunikasi yang nyambung di hati daripada basa-basi.
Siang hari itu, saya beristirahat dari kegiatan pendampingan keluarga korban, sambil berdiri dan menikmati kopi yang tersedia di salah satu sudut, saya mendengar seorang perempuan berkata, ”Aku bukannya ga mau bantu lho mas. Aku gak pegang datane warga luar Surabaya. Aku wis kontak walikota karo bupatine njaluk data wargane.”
Bu Risma ternyata sedang berbicara kepada media tentang penanganan korban yang berasal dari luar Surabaya. Beberapa saat sebelumnya, saya melihat dan mendengar sendiri beliau menelpon seorang kepala daerah dan meminta data korban yang berasal dari daerahnya. Cepat dan lugas. Coba bayangkan seandainya dalam situasi krisis masih harus menempuh jalan birokrasi yang penuh liku itu. Inilah kuliah kepemimpinan Bu Risma yang ketiga; dalam situasi krisis, pemimpin lebih mengedepankan komunikasi informal daripada birokrasi.
Saya, Pendeta Setyahadi dan Romo Didik dari Keuskupan Surabaya sedang berdiri bersama di dekat Crisis Center. Kira-kira pukul 14.00, Bu Risma lewat dan memperhatikan kami dan langsung meminta, ”Tolong dilanjutkan ya pendampingan rohaniwan untuk keluarga korban. Bapak-bapak sudah makan atau belum?”
Sebuah pertanyaan sederhana yang mengkomunikasikan kepedulian. Sebuah pertanyaan yang hanya kami balas sambil berpandangan dan tersenyum. Malu untuk mengatakan kami belum makan siang, karena kami duga Bu Risma juga belum sempat makan.
Terima kasih Bu Risma untuk kuliah kepemimpinan di akhir tahun 2014. Semoga kelak Tuhan membawa ibu memimpin negeri ini.
www.wahyupramudya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar